Saya salut pada Metro TV yang berani "berkata apa adanya" atas kinerja pemerintahan SBY yang dianggap belum tegas menangani kasus korupsi di Indonesia. Akan tetapi yang membuat saya sesak dada adalah publikasi TI yang isinya selalu menggelitik dan menyakiti. Kalau boleh beranalogi, gelar terburuk berarti semua orang Indonesia korupsi.
Bila berlandas pada pendekatan teori komunikasi bahwasannya persepsi identik dengan informasi, maka semua negara akan menganggap apapun prestasi dan kinerja yang diperlihatkan warga yang berasal dari Indonesia berapot merah. Akibatnya, atas nama orang Indonesia tidak boleh megang uang banyak, karena akan dikorupsi, tidak boleh dapat proyek, karena akan diselewengkan, tak boleh memegang jabatan tertentu karena akan berkhianat, tak boleh beristri dengan penduduknya karena akan selingkuh... tentu bahaya bukan.
Saya jadi teringat pengalaman teman-teman yang melakukan perjalanan, saat singgah di bandara negeri Arab, petugas kepolisian setempat, tanpa etika melucuti pakaian mereka dan barang-barangnya diacak-acak, mereka baru berhenti beraksi saat memberi pengakuan bila teman saya anggota DPR dan utusan khusus yang membawa misi mulia.
Karena persepsi mereka, warga Indonesia yang datang ke negaranya adalah TKW atau TKI yang dipekerjakan sebagai budak. Sementara si cerdas dan pintar seperti pembaca tak digubris.
Apa yang dikemukakan Metro TV tidak sepenuhnya baik dan benar dalam perpolitikan negara. Karena dilihat dari gelagatnya mempunyai misi tersembunyi dalam merongrong kinerja SBY, agar persepsi masyarakat Indonesia terhadap pilihannya berubah.
Menurut saya tak mudah mengajak pilihan sosok pimpinan nomor satu yang mewakili sifat asli sopan, santun dan murah senyum. Bagaimana jika yang memimpin Amien Rais, yang suka mengkritik, atau Soeharto yang tak mau dikritik, atau Soekarno yang ngaku jenius dan hanya butuh beberapa orang untuk mengubah negara, atau Habibie yang terlambat jadi manusia, atau bahkan Gus Dur yang gemar keliling dunia dan buat anekdot. Apalagi menyangkut identitas kedaerahan, yang tentunya Jawa masih menjadi pertimbangan utama.
Nah, saat saya coba buka lembar demi lembar harian terbitan Ibu kota, tak satu pun yang mempublikasikan jurnal TI, artinya mereka juga sudah bosan menghujat dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment